Di tengah derasnya arus informasi, kemampuan membaca dan menulis saja tidak cukup. Dibutuhkan pemahaman yang mendalam, kemampuan berpikir kritis, dan kepekaan terhadap konteks. Inilah yang disebut dengan literasi.
Sayangnya, literasi masyarakat Indonesia masih terbilang rendah. UNESCO menyebut dalam 1000 orang hanya ada satu orang yang minat membaca.
Berangkat dari keresahan itu, sekelompok mahasiswa Ilmu Komunikasi President University membentuk sebuah inisiatif bernama Literaksi. Sebuah gabungan kata dari “literasi” dan “aksi” yang mencerminkan aksi dan semangat literasi.
Tujuan mereka sederhana, yakni menghidupkan semangat literasi di tengah masyarakat. Pilihan mereka jatuh pada Desa Ciburial, sebuah kawasan asri di Kabupaten Bandung.
Di sana, mereka mengunjungi Pondok Tahfidz Nur Ihsan dan SD Plus Babussalam, membawa harapan, buku-buku, dan energi muda.
Selama tiga hari, dari 18 hingga 20 Juli 2025, mereka menyelenggarakan rangkaian kegiatan yang tidak hanya mengajarkan, tapi juga mendengarkan. Tidak hanya berbagi ilmu, tapi juga belajar kembali arti sederhana dari membaca dan memahami.
Membuka Jendela dengan Buku
Di Pondok Tahfidz Nur Ihsan, mereka mulai dengan sesuatu yang sangat mendasar. Mereka membangun pojok baca. Buku-buku yang dikumpulkan dari donasi mahasiswa dan masyarakat disusun rapi di rak sederhana.

Bagi para santri, ini bukan sekadar rak buku, tapi jendela kecil menuju dunia yang lebih luas dari halaman-halaman kitab yang biasa mereka baca.
Tak berhenti di situ, para mahasiswa mengajak anak-anak membaca satu per satu. Lalu mereka diminta menceritakan kembali isi bukunya dengan cara mereka sendiri.
Tidak semua lancar membaca, tentu saja. Tapi itulah yang membuat momen ini begitu berarti. Ketika satu anak tersendat, ada tangan mahasiswa yang membimbing. Ketika satu cerita terdengar kacau, ada telinga yang sabar mendengarkan.
Belajar tentang Media dan Bahasa di Tengah Alam
Berpindah ke SD Plus Babussalam, suasana sedikit berbeda. Di sini, para mahasiswa menggelar kelas kecil tentang literasi media. Mereka mengenalkan berbagai jenis media dan mengajak siswa memahami dampak disinformasi.

Materinya ringan, bahasanya sederhana, tapi pesannya penting: tidak semua yang kita baca itu benar, dan tidak semua yang viral itu baik.
Setelah itu, mereka mengajak anak-anak keluar kelas, berinteraksi dengan alam, sambil belajar bahasa Inggris. Mereka berkumpul di taman rumput hijau sambil menikmati alam.
Bukan Akhir, Tapi Awal dari Banyak Kemungkinan
Respons dari para guru dan pengelola sekolah sungguh hangat. Mereka menyambut baik kegiatan ini, dan berharap kegiatan ini bisa kembali tidak hanya untuk siswa SD, tapi juga ke tingkat SMP dan SMA. Bahkan, muncul harapan baru: bagaimana jika kegiatan selanjutnya juga menyentuh literasi digital dan bahkan kecerdasan buatan (AI literacy), khususnya bagi para guru?
Literaksi mungkin hanya berlangsung tiga hari. Tapi seperti buku yang baik, kisahnya tak berhenti ketika halaman terakhir ditutup. Ia tinggal dalam ingatan, menjadi inspirasi, dan siapa tahu membuka babak baru bagi mereka yang terlibat di dalamnya.

